Senin, 11 Januari 2010

"Analisa Efektivitas Sosialisasi Hukum pada Masyarakat Luas Dalam Kerangka Penegakan Hukum HKI"


* Pendahuluan

Secara umum masyarakat Indonesia memiliki tingkat kualitas pendidikan yang tergolong rendah. Masih banyak sekelompok masyarakat yang berlatar belakang pendidikan tertinggal. Banyak faktor penyebabnya, misalnya rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Rendahnya tingkat perekonomian disebabkan sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan. Ditambah dengan banyak perusahaan – perusahaan yang tekena dampak krisis global, lalu akhirnya bangkrut dan melakukan kebijakan pengurangan pekerja. Para pekerja dipecat dan menambah daftar jumlah pengangguran, baik itu pengangguran terdidik maupun tidak terdidik. Lalu timbulah yang namanya “kemiskinan”. Jumlah rumah tangga miskin di Indonesia tahun 2008 sejumlah 17.184.291 kepala keluarga.
Beberapa kriteria rumah tangga miskin :

- Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang.
- Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu / rumbia / kayu / berkualitas rendah / tembok tanpa diplester.
- Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama – sama dengan rumah tangga lain.
- Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
- Sumberair minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan.
- Bahan bakar untuk memasak sehari – hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah.
- Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari.
- Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik.
- Sumber penghasilan kepala rumah tangga di bawah Rp 600 ribu per bulan.
- Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tamat SD / hanya SD.
( Media Indonesia, Senin 2 Nov 2009)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasang target tinggi dalam lima tahun kedua pemerintahannya. Angka – angka yang terbilang ambisius itu ditekankan SBY ketika membuka National Summit dimana pertumbuhan ekonomi dipatok 7%, pengangguran diturunkan antara 5% sampai 6%, dan angka kemiskinan ditekan hingga 8% sampai 10%. Optimisme mengatakan semua target itu bukan mustahil diraih, dengan syarat kendala dan hambatan untuk mencapainya diminimaliskan. (Media Indonesia, Senin, 2 Nov 2009)

Terkait dengan hal tersebut di atas, bagaimana dengan barang – barang bajakan yang terjual di pasaran. Mungkin ada salah satu atau sebagian masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK beralih profesi menjadi pedagang barang – barang bajakan. Dari segi pendidikan dengan kapasitas tamatan SD atau SMP sangatlah sulit diharapkan jika orang yang menjadi pedagang tersebut menimbang perbuatannya tersebut dari segi hukum, apalagi secara spesifik bahwa perbuatannya tersebut melanggar hukum hak kekayaan intelektual misalnya dalam bidang hak cipta. Banyak hal yang bisa dijadikan alasan terkait bentuk perdagangan yang dilakukan oleh pedagang tersebut, salah satunya bisa jadi dikarenakan ketidaktahuan orang tersebut mengenai adanya hukum hak kekayaan intelektual. Alasan lainnya adalah masalah pangan yang pasti setiap orang sangat tergantung akan hal yang satu ini. Tidak sedikit kasus pembunuhan yang terjadi akibat permasalahan pangan.

Bagaimana dengan masyarakat lain yang terkena PHK tapi beralih profesi juga menjadi pedagang, tapi dalam bentuk / jenis dagangan lain, misalnya dagang bakso, pecel lele, bubur ayam, dan lain sebagainya. Dari segi jenis dagangan tidak ada unsur pelanggaran hukum terkait dengan hukum hak kekayaan intelektual. Namun dari segi pendapatan yang ‘pas – pasan’, sudah pasti daya beli masyarakat tersebut juga tergolong rendah dan sudah pasti mencari segala jenis barang – barang kebutuhan dengan harga yang minim. Kalaupun ada pedagang bakso / pecel lele yang memiliki taraf / kemampuan ekonomi yang memadai / menengah keatas, mungkin levelnya bukan lagi dalam level pedagang, melainkan sudah masuk level pengusaha.

Barang – barang bajakan yang terjual di pasaran Indonesia banyak jenisnya. Mulai jenis barang yang dikonsumsi oleh kalangan ekonomi masyarakat menengah, bawah, maupun kalangan atas sekalipun. Contoh barang bajakan yang dikomsumsi oleh semua kalangan misalnya adalah VCD / DVD dan sekarang sudah banyak beredar software bajakan. Banyak hal yang bisa dijadikan alasan untuk menggunakan barang bajakan tersebut, yaitu harga barang yang relatif murah, tingkat kemudahan untuk mendapatkan barang bajakan tersebut, kualitas barang yang tidak terlalu buruk. Dari segi tingkatan kebutuhan barang – barang bajakan tersebut bukan merupakan kebutuhan yang urgent / sangat penting yang kalaupun tidak dimiliki tidak menjadi suatu permasalahan yang darurat / berakibat fatal. Hanya suatu kebutuhan sampingan. Namun barang tersebut tetap dibeli orang dengan alasan kebanyakan sebagai kebutuhan untuk hiburan. Mengherankan memang, sebagian masyarakat dari kalangan ekonomi bawah yang dalam kondisi minim masih bisa / mau membeli barang yang tidak terlalu / sangat dibutuhkan, namun itulah kenyataannya. Kesenjangan sosial memang bisa saja terjadi, jika penegakan hukum hak kekayaan intelektual benar – benar ditegakkan. Misalnya dengan harga keping VCD/DVD original / asli Rp50.000,- per keping, maka akan menjadi hal yang sangat sulit bagi sebagian masyarakat kalangan ekonomi rendah untuk memiliki barang tersebut dengan cara membelinya dikarenakan harganya yang lumayan mahal, sehingga akhirnya hanya kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas yang mampu membeli barang tersebut. Namun, terlepas timbulnya kesenjangan sosial tersebut penegakan hukum tetap harus ditegakkan demi adanya suatu kepastian hukum di negara Indonesia.

* Permasalahan

Dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat beberapa topik permasalahan sebagai berikut :
1. Tingkat intensitas pengadaan sosialisasi hukum hak kekayaan intelektual kepada masyarakat luas dirasakan masih kurang ?
2. Kurangnya perhatian pemerintah dalam meningkatkan pengadaan sosialisasi hukum ?


* Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui mengapa tingkat intensitas pengadaan sosialisasi hukum rendah, keefektifan sosialisasi hukum terhadap masyarakat ?
2. Seberapa jauh perhatian pemerintah pada masyarakat dalam hal sosialisasi hukum pada masyarakat luas ?

* Pembahasan

Rata – rata kelompok - kelompok sosial seperti misalnya masyarakat mempunyai mekanisme untuk menjamin ketaatan terhadap norma – norma yang disebut mekanisme kontrol sosial. Kontrol sosial berarti proses atau metode yang digunakan oleh sekelompok masyarakat untuk memelihara keteraturan / kedamaian sosial dengan penegakan prilaku yang telah disepakati. Pakar sosiologi umumnya membedakan proses kontrol sosial menjadi 2 dasar yaitu : ( 1 ) internalisasi ( pengenalan ) dari norma – norma kelompok ketika kepatuhan dijamin melalui sosialisasi, ( 2 ) reaksi sosial terhadap tekanan – tekanan dari luar dalam bentuk sanksi terhadap yang lainnya dalam kasus ketidak patuhan terhadap norma – norma baik yang diantisipasi maupun yang aktual. Kontrol sosial sendiri terbagi menjadi 2 macam yaitu : ( 1 ) kontrol sosial formal, ( 2 ) kontrol sosial informal. Kontrol sosial formal yaitu tindakan resmi seperti penggunaan hukum yang diturunkan dari lembaga sosial kemasyarakatan yang dibuat untuk melaksanakan fungsi – fungsi dari masyarakat. Sedangkan kontrol sosial informal yaitu kontrol sosial yang diartikan sebagai fungsi –fungsi tata karma, norma – norma yang dibuat untuk praktek – praktek umum seperti menspesifikasikan tata cara berbusana, etiket, penggunaan bahasa, norma –norma masyarakat yang berhubungan dengan perasaan yang kuat tentang yang benar dan yang salah. Contoh tindakan kontrol sosial informal seperti misalnya, olok – olok, gossip, pujian, teguran, kritikan, kutukan. Tidak seperti kontrol sosial formal, kontrol sosial informal ini tidak dilaksanakan melalui mekanisme kelompok resmi, dan tidak orang tertentu yang ditunjuk untuk penegakannya. ( www.hukum dan kontrol sosial.com )
Defenisi dari sosialisasi adalah sebagai berikut : proses dimana individu – individu mengenalkan norma – norma dan nilai – nilai, aturan – aturan kepada sekelompok masyarakat lainnya.
Beberapa kegiatan sosialisasi yang pernah diselenggarakan oleh Ditjen HKI yaitu :

1. “Pendaftaran HKI sebagai bentuk pelayanan dalam rangka melindungi hasil karya produk barang dan jasa guna mendorong pembangunan ekonomi”, dilaksanakan pada tanggal 9 Agustus 2001 di Jakarta.
2. “Sosialisasi Peraturan Hak Kekayaan Intelektual”, dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 2001 di Jakarta.
3. “Sosialisasi HKI terhadap industri kecil yang ada di DKI Jakarta”, dilaksanakan pada tanggal 24 – 25 September 2001 di Jakarta.
4. "Sosialisasi HKI" dilaksanakan pada tanggal 20 September 2001.
5. "Sosialisasi HKI" bekerja sama dengan Badan Pengembangan Otorita BATAM dilaksanakan pada tanggal 5 September 2002.
6. "Sosialisasi HKI Pemahaman Undang-Undang HKI bagi UKM pada Sentra Industri" dilaksanakan pada tanggal 11 September 2002 di Bandung; Dilaksanakan pada tanggal 17 September 2002 di Surabaya.
7. "Sosialisasi dan Penyebarluasan Informasi HKI Melalui Media Elektronik" dilaksanakan pada bulan Juni s.d. Oktober 2003 di Radio RRI Jakarta.
8. "Sosialisasi Undang-Undang HKI bagi Penegak Hukum, UKM dan Instansi Terkait" dilaksanakan pada tanggal 1 s.d 2 September 2003 di Kupang; Dilaksanakan pada tanggal 4 s.d 5 September 2003 di Palangkaraya.
9. "Sosialisasi Pemahaman dan Pengetahuan HKI bagi Jajaran Pejabat Pemda" dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2004 di Bandung; Dilaksanakan pada tanggal 31 Mei 2004 di Semarang.

* Seminar dan Simposium :

1. "Seminar Nasional Perlindungan HKI Terhadap Inovasi Teknologi Tradisional di Bidang Obat, Pangan dan Kerajinan" dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 2001 di Bandung.
2. "Pemberdayaan HKI atas Hasil Penelitian dan Produk Unggulan Daerah sebagai Strategi Peningkatan Daya Saing Produk" dilaksanakan pada tanggal 6 November 2001 di Malang.
3. "INTA (International Trademark Association) Round Table Meeting" dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2001 di Jakarta.
4. "Seminar Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya" dilaksanakan pada tanggal 24 September 2001 di Jakarta.
5. "Perlindungan & Penegakan Hukum HKI Menurut Undang-Undang HKI" dilaksanakan pada tanggal 12 November 2001 di Jakarta.
6. "Lokakarya Perlindungan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Terhadap Produk -produk Unggulan di Propinsi Jawa Tengah" dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2001 di Semarang.
7. Temu Wicara tentang "Perlindungan Hukum Bidang Rekaman / Performance bagi Artis, Asosiasi Rekaman dan YKCI" dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus 2003 di Jakarta.
8. Temu Wicara tentang Desain Industri; Dilaksanakan pada tanggal 8 September 2003 di Jakarta.
9. Temu Wicara mengenai "Pemanfaatan Sistem Perlindungan HKI bagi Usaha Kecil dan Menengah (Bekerjasama dengan Kantor Negara Koperasi dan UKM)" dilaksanakan pada tanggal 7 s.d. 8 Juni 2004 di Pelembang; Dilaksanakan pada tanggal 10 s.d. 11 Juni 2004 di Padang; Dilaksanakan pada tanggal 14 s.d. 15 Juni 2004 di Balikpapan; Dilaksanakan pada tanggal 17 s.d. 18 Juni 2004 di Gorontalo; Dilaksanakan pada tanggal 21 s.d. 22 Juni 2004 di Malang; Dilaksanakan pada tanggal 24 s.d. 25 Juni 2004 di Mataram.

* Seminar dan Simposium kerjasama dengan International :

1. "WIPO National Seminar on the PCT" dilaksanakan pada tanggal 26 s.d. 27 Juni 2000 di Jakarta.
2. "WIPO ASEAN IP Policy Forum on New Emerging Dimensions of IPR in the 21st Century" dilaksanakan pada tanggal 25 s.d. 27 Juni 2000 di Denpasar Bali.
3. "WIPO National Roving Seminar on Law Enforcement of IPR" dilaksanakan pada tanggal 16 s.d. 17 Oktober 2000 di Surabaya
4. "WIPO National Roving Seminar on Law Enforcement of IPR" dilaksanakan pada tanggal 19 s.d. 20 Oktober 2000 di Jakarta.
5. "WIPO National Roving Seminar on Law Enforcement of IPR" dilaksanakan pada tanggal 23 s.d. 24 Oktober 2000 di Batam.
6. "WIPO National Seminar on the Evaluation of IPR in Commerce and Development" dilaksanakan pada tanggal 24 s.d. 25 April 2001 di Jakarta.
7. "WIPO Asia Pacific Regional Symposium on IPR, Traditional knowledge and Related Issues" dilaksanakan pada tanggal 17 s.d. 19 Oktober 2001 di Yogyakarta.
8. "WIPO National Seminar on New Emerging Issues on Copyrights Protections and Enforcement in The Digital Era" dilaksanakan pada tanggal 25 April 2002 di Jakarta.
9. "WIPO National Seminar on Patent Cooperation Treaty (PCT)" dilaksanakan pada tanggal 29 s.d. 30 Mei 2002 di Jakarta.
10. "National Roving Seminar on the Enforcement of IP System Program" dilaksanakan pada tanggal 10 s.d. 11 Juni 2002 di Medan.
11. "National Roving Seminar on the Enforcement of IP System Program" dilaksanakan pada tanggal 13 s.d. 14 Juni 2002 di Makasar.
12. "National Roving Seminar on the Enforcement of IP System Program" dilaksanakan pada tanggal 17 s.d. 18 Juni 2002.
13. "WIPO National Roving Seminar on Development and Current Issues of the World Trade Organization in Particular the Agreement on trade Related Aspect of IPR (TRIPs Agreement)" dilaksanakan pada tanggal 1 s.d. 2 Juli 2002 di Bandung.
14. "WIPO Asia Pacific Regional Symposium on the Protection and Enforcement of Copyright and Related Rights" dilaksanakan pada tanggal 27 s.d. 29 Januari 2003 di Hotel Menara Peninsula Jakarta.
15. "Roving Seminar mengenai IP Law Enforcement" dilaksanakan pada tanggal 30 Juni s.d. 1 Juli 2003 di Jakarta.
16. "WIPO Asia Pacific Sub Regional Seminar on the Benefits of the Madrid and Haque Systems for Developing Countries" dilaksanakan pada tanggal 21 s.d. 23 Oktober 2003 di Hotel Sahid Jaya Jakarta.
17. "ECAP Seminar on Relative Grounds for Refusal and Opposition Proceedings" dilaksanakan pada tanggal 3 s.d. 4 Desember 2003 di Hotel Imperial Aryaduta Tangerang.
18. Temu Wicara mengenai "Penegakan Hukum di Bidang Hak Kekayaan Intelektual" (Bekerja sama dengan JICA) dilaksanakan pada tanggal 19 s.d. 20 Juli 2004 di Pekan baru; Dilaksanakan pada tanggal 22 s.d. 23 Juli 2004 di Pangkal Pinang; Dilaksanakan pada tanggal 26 s.d. 27 Juli 2004 di Denpasar; Dilaksanakan pada tanggal 29 s.d. 30 Juli 200 di Manado.
19. Lokakarya mengenai "Pengembangan dan Pemanfaatan Sistem Hak Kekayaan Intelektual oleh Perguruan Tinggi" (Bekerja sama dengan JICA) dilaksanakan pada tanggal 30 s.d. 31 Agustus 2004 di Medan; Dilaksanakan pada tanggal 2 s.d. 3 September 2004 di Jambi; Dilaksanakan pada tanggal 6 s.d. 7 September 2004 di Banjarmasin; Dilaksanakan pada tanggal 9 s.d. 10 September 2004 di Yogyakarta.

Dari defenisi sosialisasi tersebut sudah merupakan hal yang wajar jika aparatur terkait dalam hal ini adalah Direktorat HKI memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat luas agar mengerti dan memahami mengenai hukum Hak Kekayaan Intelektual. Tidak kurang Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono meminta kepada masyarakat memberi informasi agar polisi bisa menindaknya. Wahyono mengatakan, bahwa bisnis bajakan baik film, lagu, maupun permainan tidak akan pernah hilang selama masih ada minat masyarakat. (Kompas, Rabu 16 Des 2009)
Menurut Direktur Jenderal HKI Andy N Sommeng, HKI tidak hanya bertujuan melindungi produk – produk dari negara maju, tetapi juga melindungi kalangan pencipta dan pengusaha di negara berkembang seperti Indonesia. (Seputar Indonesia, Rabu 16 Des 2009). Namun, bagaimana masyarakat bisa mengerti bahwa barang – barang seperti VCD/DVD bajakan tersebut dilarang / melanggar hukum, sehingga akhirnya tidak jadi membeli / tidak mau membeli barang bajakan lagi ? Masyarakat yang mengerti hukum saja bisa jadi tetap melakukan hal tersebut. Sosialisasi hukum hak kekayaan intelektual kepada masyarakat dilakukan guna memberikan arahan dan bimbingan mengenai seluk beluk peraturan hukum tersebut, apa itu hak kekayaan intelektual, meliputi apa saja, mengapa diatur, apa pengaruhnya / dampak negatif positif bagi kehidupan masyarakat. Sehingga jika nantinya aparat penegak hukum menindak dengan tegas terkait pelanggaran hukum hak kekayaan intelektual, masyarakat sudah mengerti dan tidak terheran – heran / kaget / atau mungkin ada yang tidak tahu sama sekali mengenai peraturan hukum tersebut. Salah satu bentuk penegakan hukum dalam bidang hak kekayaan intelektual misalnya, sebagai berikut :
“Jutaan VCD dan DVD dimusnahkan”
Polda Metro Jaya musnahkan jutaan keping VCD, DVD, dan software bajakan di halaman Mapolda Metro Jaya kemarin. Pemusnahaan kemarin juga dihadiri oleh sejumlah artis seperti Tukul Arwana, Rebecca, dan Yati Oktavia. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono mengatakan, selama 2009 ini negara telah dirugikan Rp 7,4 miliar dari kegiatan pembajakan CD, VCD, DVD, dan MP3. Sepanjang 2009 sekitar 51 kasus pembajakan berhasil diungkap dan 41 di antaranya telah diajukan ke persidangan. “Kami akan terus melakukan pengungkapan kasus ini, karena kerugian negara yang dihasilkan dari kegiatan pembajakan ini sangat besar”, ungkap Irjen Pol Wahyono. (Seputar Indonesia, 16 Des 2009)

Walaupun begitu, kekecewaan terhadap lemahnya penegakan hukum dalam bidang hukum hak kekayaan intelektual masih banyak dikeluhkan beberapa pihak. Dari segi kalangan pencipta dalam hal ini adalah musisi misalnya, vokalis band Letto, Sabrang atau Neo berujar bahwa saat ini musisi tidak punya pilihan selain mewakafkan karyanya. “Banyak karya Letto yang dibajak. Kami sih ketawa – ketawa aja melihatnya. Soal ikhlas itu relatif, tapi dari banyak kasus jadi kelihatan mental orang Indonesia itu seperti apa”. Posisi kreator sangat lemah sehingga karyanya bisa dengan mudah dibajak pihak lain (Kompas, 16 Des 2009). Bisa dibayangkan bagaimana perasaan ‘kecewa’ para pekerja seni tersebut setelah bersusah payah memutar otak, mengeluarkan / mengorbankan dana dan waktu yang tidak sedikit untuk menciptakan karya seni, bekerja sama dengan perusahaan industri musik yang memasarkan di pasaran, sampai akhirnya beredar di pasaran, belum genap setahun beredar karya seni tersebut tiba – tiba sudah ada ‘bajakannya’. Secara moral bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945 hal pembajakan tersebut sungguh sangat tidak sesuai dan tidak terpuji.

Hal mengenai pembajakan ini harus mendapat perhatian dari pemerintah khususnya aparat terkait. Mengingat terlepas kasus tindak pembajakan yang kerap merajalela, para pelaku industri seni tetap berusaha berjuang untuk tetap berkarya menciptakan karya – karya seni baru. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan – kegiatan seperti acara Festival Film Indonesia 2009 yang akan diselenggarakan di Kemayoran, Jakarta tanggal 16 Desember 2009. Para pekerja seni tersebut juga bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi bukan alasan yang masuk akal jika dikatakan bahwa, para pelaku pembajakan tersebut melaksanakan hal tersebut demi menyambung hidup lalu hal tersebut menjadi ‘lumrah’. Memang akan menjadi pertimbangan yang sulit dalam pelaksanaan penegakan hukum di lapangan. Namun, akan sama halnya terkait kasus ‘Lumpur Lapindo’ yang benar terbukti merugikan masyarakat tapi penindakan secara hukumnya justru berlarut – larut.

* Kesimpulan

Dari pembahasan – pembahasan yang dikemukakan di atas, penulis mencoba merumuskannya menjadi beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Intensitas pengandaan sosialisasi hukum dalam bidang hak kekayan intelektual dirasakan masih sangat kurang. Hal ini bisa jadi disebabkan kurangnya perhatian pemerintah mengenai hal pengadaan sosialisasi hukum dalam kerangka menanggulangi kegiatan pelanggaran hukum hak kekayaan intelektual berupa ‘pembajakan’. Pemerintah saat ini memang masih disibukkan oleh kegiatan – kegiatan penanganan kasus hukum lainnya yang mungkin lebih penting dan bersifat darurat. Namun, alangkah baiknya untuk jangka panjang hukum hak kekayaan intelektual juga menjadi perhatian dari pemerintah terkait aparaturnya. Dengan tingkat intensitas pengandaan sosialisasi hukum hak kekayaan intelektual yang tinggi terhadap masyarakat, maka tingkat pengetahuan masyarakat mengenai hak kekayaan intelektual juga semakin tinggi. Sehingga dengan mengerti maka bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membeli barang – barang ‘bajakan’ lagi.
2. Diharapkan agar untuk masa yang akan datang pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap bidang hak kekayaan intelektual. Dikarenakan hukum hak kekayaan intelektual berkaitan juga dengan industri kreatif seni yang sedang berkembang. Termasuk misalnya kreatifitas di bidang seni per-film-an, seni musik, yang boleh dikatakan tidak berhenti berkembang dari masa ke masa, baik dari segi kreatifitasnya maupun terkait dari segi industrinya. Dengan adanya perhatian dari pemerintah, secara tidak langsung berarti pemerintah memberikan perhatian, menghargai, dan mengetahui bahwa tingkat kemampuan ‘kreatifitas’ para pekerja seni di Indonesia bisa diandalkan dan berkembang maju. Menjadi sesuatu yang sangat disayangkan jika hasil karya seni masyarakat negeri sendiri ternyata ‘dibajak’ oleh oknum – oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab yang ternyata bagian dari masyarakat negeri sendiri. Terkait dengan permasalahan ekonomi dimana para pedagang barang – barang bajakan tersebut melanggar hukum dikarenakan menjual barang bajakan, juga merupakan suatu bentuk permasalahan. Namun alangkah baiknya jika permasalahan tersebut diselesaikan dalam tahapan dan koridor / cakupan yang lebih luas guna menghidari perbedaan tingkat kemajuan ekonomi yang berbeda – beda, yang bisa mengakibatkan timbulnya masalah baru berupa kesenjangan sosial dalam bentuk tingkatan ekonomi. Diharapkan dengan adanya perhatian pemerintah terhadap permasalahan hukum hak kekayaan intelektual, mudah – mudahan penegakan hukum bisa diwujudkan dengan lebih baik lagi. Sehingga bisa juga memberikan dampak positif dalam dunia investor guna mendukung sektor industri seni terkait dunia hiburan.

"Metode Penelitian dan Pengkajian Kebijakan"

Hal mengenai Metode Penelitian dan Pengkajian tidak akan pernah tuntas untuk dibahas apalagi disimpulkan secara sempurna. Namun ada beberapa hal yang penting diingat oleh peneliti, yaitu :
- Menulis adalah bagian dari proses penelitian
- Jika tidak mempublikasikan hasil penelitian, artinya penelitian anda belum selesai.
- Langkah-langkah penting dalam kegiatan penelitin :
( 1 ) membuat rancangan penelitian (2 ) menyusun instrument / alat pengumpul data ( 3 ) menentukan objek / sasaran penelitian ( 4 ) mengumpulkan data ( 5 ) mengolah data ( 6 ) malkukan analisis ( 7 ) menulis laporan penelitian ( 8 ) mendiskusikan naskah awal laporan penelitian ( 9 ) mempublikasikan hasil penelitian.

Minggu, 10 Januari 2010

"Das sein Das solen"

"Das sein das solen"
Pada kesempatan ini saya ingin mengangkat topik analisis istilah 'das sein das solen' dalam kehidupan sehari - hari. Defenisi das sein das solen sendiri adalah suatu kenyataan tidak seperti yang seharusnya atau sesuai dengan yang ideal. Banyak hal yang bisa dijadikan contoh, seperti misalnya berkendaraan di jalan raya. Bagi yang menggunakan kendaraan roda dua diwajibkan menggunakan alat bantu keamanan seperti misalnya helm. Idealnya atau seharusnya memang seperti itu, namun masih ada yang tidak melaksanakannya. Jika tidak dikaitkan dengan peraturan hukum hal tersebut tidak masuk dalam konteks pelanggaran hukum. Namun, jika seorang pengendara roda dua mengalami kecelakaan dan tidak menggunakan helm,maka akan berakibat fatal yang bisa merenggut nyawa dari pengendara tersebut. Seharusnya atau idealnya memang harus harus menggunakan helm. Manusia di seluruh indonesia dalam kategori dewasa semuanya pasti tahu akan hal penggunaan helm dalam berkendaraan di jalan raya. Kesimpulannya, semua manusia tahu tentang yang baik dan jahat di dunia ini. Jika penulis boleh lebih spesifik, ajaran agama telah mengajarkan semua tentang hal yang baik dan jahat. Oleh karena itu jika masih saja terjadi tindak kejahatan di dunia ini, terutama di negara indonesia maka bolehlah kita kembali mengingat istilah das sein das solen, dan menerapkannya dalam kehidupan kita sehari - hari sesuai dengan ajaran agama yang kita anut dan percayai.