Selasa, 31 Mei 2011

Analisa Sifat Delik Yang Melekat Dalam UU Hak Cipta



Analisa Sifat Delik Yang Melekat Dalam UU Hak Cipta
Keterkaitan dengan rencana pemerintah melakukan perubahan sifat delik kasus Hak cipta dari delik biasa menjadi delik aduan dalam amandemen UU No.19 tahun 2002 justru akan semakin mempersulit dalam hal penyelesaian kasus terkait hak cipta. Menurut Kanit I Indag Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, pihaknya terkejut dengan rencana perubahan sifat delik tersebut. Dengan adanya delik tersebut menurut beliau justru akan meningkatkan jumlah pembajakan di Indonesia. Jika selama ini pihak aparat terkait bisa langsung terjun ke lapangan untuk menindak para pelaku pembajakan, maka jika sifat delik yang diterapkan terhadap kasus hak cipta adalah delik aduan maka akan menghambat proses penindakan aparatur terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran terkait hak cipta.
Permasalahan : "Apakah dengan mengubah sifat delik kasus Hak cipta dalam Amandemen UU No 19 Tahun 2002, merupakan solusi yang tepat dalam rangka penanggulangan kasus pelanggaran hak cipta ?
Dari hasil pengamatan penulis, sepanjang 2009 sekitar 51 kasus pembajakan berhasil diungkap, 41 di antaranya telah diajukan ke persidangan, padahal saat itu delik kasus dalam bidang hak cipta masih menerapkan delik biasa. Menurut hemat penulis, penanganan kasus hak cipta akan semakin tidak efektif jika diterapkan perubahan sifat delik kasus dari delik biasa menjadi delik aduan, dikarenakan harus menunggu adanya aduan dari masyarakat / pihak yang merasa dirugikan. Dengan menjadi delik aduan, juga akan berakibat aparat penyidik Kepolisian tidak bisa melakukan tindakan hukum meski terjadi pelanggaran kasus Hak cipta di depan mata polisi. Menurut pengamatan penulis, pihak yang merasa dirugikan akibat dari kegiatan pembajakan tersebut biasanya enggan dan membiarkan saja ( merelakan ) kegiatan pembajakan tersebut terus berlanjut. Salah satu contoh misalnya, dari kalangan pencipta/musisi vokalis band Letto, bernama Sabrang ( Neo ) berujar bahwa saat ini musisi tidak punya pilihan lain selain mewakafkan karyanya. "Banyak karya Letto yang dibajak, kami sih ketawa2 aja melihatnya. Soal ikhlas itu relatif, tapi dari banyak kasus jadi terlihat mental orang Indonesia itu seperti apa. Posisi kreator sangat lemah sehingga karyanya sangat mudah dibajak oleh orang lain. Sementara itu Kepala Perwakilan Bisnis Software Alliance BSA Indonesia berpendapat, bahwa perubahan delik ini akan berdampak pada penurunan jumlah upaya penegakan hukum di bidang HKI. Pasalnya diperlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan untuk dilakuakan upaya penegakan hukum oleh aparat terkait. Padahal tidak semua pemegang hak cipta berkedudukan atau memiliki perwakialan di Indonesia, sehingga mempersulit proses pengaduan sebagaimana dipersyaratkan. Beberapa pihak berpendapat lebih setuju jika diterapkan delik aduan dikarenakan beberapa hal / alasan sebagai berikut :
  1. 1. aparat penegak hukum kurang mampu menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya.
  2. dalam melakukan proses hukum aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan.
  3. dalam prakteknya apabila terjadi pelanggaran hak cipta pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelaku pelanggar hak cipta tersebut dikenakkan sanksi pidana penjara atau denda. Namun karena tindak pidana hak cipta menerapkan delik biasa seringkali aparat penegak hukum yang menangani kasus hak cipta tersebut terus melanjutkan proses hukum meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar dengan pihak yang melanggar. Hal ini tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut.
Sedangkan menurut penulis alasan / hal di atas tidak tepat. Beberapa alasan sanggahan terkait alasan / hal di atas yaitu sebagai berikut :
  1. sangat tidak masuk akal jika aparat terkait dengan bidang hak cipta tidak bisa menentukan paling tidak menduga telah terjadi pelanggaran hak cipta. Jika dikaitkan dengan yang tertulis dalam pasal 1 UU No. 19 Tahun 2002 yaitu, "Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu tidak mengurangi pembatasa -pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku", timbul pertanyaan siapa yang menjamin isi dari pasal ini benar-benar terealisasi di lapangan. Sudah pasti aparat terkaitlah yang menetapkan suatu kebijakan atas dasar pasal ( peraturan perundang - undangan ) di atas untuk mencapai tingkatan penegakan supremasi hukum yang adil dan seimbang, yang nantinya akan menjadi indikator jalannya sistem pemerintahan yang baik dan ideal ( good goverment ). Dalam hal inilah diperlukan adanya SDM yang kompeten di bidangnya, seiring juga dengan sistem pengembangan SDM dan sistem reward bagi aparat / petugas yang berprestasi.
  2. Tidak berbeda jauh dengan sanggahan di atas, bahwa permasalahan yang dihadapi adalah ketidakmampuan SDM terkait pelaksanaan tugasnya. Dengan diterapkannya delik aduan terhadap kasus bidang hak cipta sama saja dengan mengurangi / menghilangkan tugas yang merupakan kewajiban dari aparat / petugas terkait tersebut.
  3. Menimbulkan suatu pertanyaan lagi, "Siapakah yang lebih mengerti dan memahami apa yang diperlukan guna penegakkan hukum, aparat penegak hukum kah ( pemerintah ) atau masyarakat ? Masyarakat telah memilih siapa yang mereka percaya guna menjalankan roda pemerintahan bangsa ini. Para pihak baik yang dirugikan maupun yang melakukan pelanggaran mungkin merasa cukup puas dengan menempuh jalur damai, tapi tidak akan menyelesaikan masalah secara global / menyeluruh. Hanya akan menyelesaikan masalah mereka berdua. Biarkan aparat / petugas hukum yang lebih mengerti menjalankan yang memang merupakan tugasnya. Masyarakat hanya perlu berharap bahwa petugas tersebut tidak lalai / malas dan jujur dalam menjalankan tugasnya.
Jika penulis boleh memberikan suatu gambaran atau perumpamaan dalam bidang medis terkait dengan delik aduan yang rencananya akan diterapkan dalam UU Hak cipta, sangat tidak logis jika ternyata seorang yang berprofesi sebagai dokter tidak mengerti prosedur bagaimana cara menangani penyakit pasien. Bahkan sekalipun prosedur proses medis yang tergolong berat/rumit seperti misalnya operasi kandungan, tetap harus dokterlah yang mengerti dan menangani / bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Kalaupun ada suatu permasalahan medis yang belum ditenukan solusi penanggulangannya tetap saja hal tersebut menjadi tanggung jawab dokter / unit terkait dalam bidang medis.
Kesimpulan : mengambil langkah solusi dengan mengubah sifat delik dari UU No 19 Tahun 2002 tentang hak cipta dari delik biasa menjadi delik aduan merupakan solusi yang kurang tepat. Permasalahan / kasus hak cipta ini merupakan rangkaian yang terdiri dari tiga unsur yaitu, unsur penegak hukum - unsur produsen/distribusi ( pembuat/pedagang barang bajakan ) - dan unsur konsumen ( masyarakat/pembeli ). Unsur penegak hukumlah yang merupakan ujung tombak dari pelaksanaan penegak hukum di negara ini. Jika memang harus diserahkan kepada masyarakat, maka pelaksanaan penegakkan hukum yang dipahami oleh masyarakat adalah model penegakan hukum brutal / anarkis. Dengan menerapkan sifat delik aduan terkait UU hak cipta, sama saja dengan menyerahkan kepada masyarakat untuk menentukan dan mengambil keputusan dalam menimbang dan memutuskan untuk melakukan tindakan agar hak mereka seimbang, penuh, tidak digunakan semena-mena oleh orang lain, tidak merugikan masyarakat / orang yang merasakannya. Tingkatan pendidikan dan kemampuan ekonomi memberi pengaruh terkait perilaku anarkis masyarakat di atas. Pilihan lain dari masyarakat yang merasa dirugikan adalah menuntut ganti rugi kepada pihak yang merugikan/pelanggar tindak pidana hak cipta, yang akhirnya tidak memberikan efek jera / takut bagi pelaku pelanggar tindak pidana hak cipta beserta sindikat-sindikat lainnya yang mungkin belum terungkap. Secara global ( nasional ) tingkat penegakkan supremasi hukum masih jauh dari kata ideal atau sesuai dengan masyarakat, yang akhirnya membuat masyarakat enggan berurusan berlama-lama dengan proses hukum. Mungkin lebih baik jika sifat delik UU hak cipta tetap menggunakan delik biasa. Lalu ditindaklanjuti dengan peningkatan kemampuan SDM aparat terkait penegakan hukum bidang hak cipta. Persamaan persepsi / pemahaman tentang HKI diantara aparatur terkait perlu dilakukan, agar penanggulangan pelanggaran tindak pidana hak cipta memiliki prosedur / kepastian hukum ( pemberian sanksi ) yang sama. Sosialisasi kepada masyarakat segala lapisan tanpa melihat tingkatan ekonomi, perbedaan profesi, dan berbagai aspek pembeda lainnya mutlak harus sering dilakukan, guna menciptakan kesadaran dalam masyarakat untuk tidak menggunakan barang - barang bajakan, dengan harapan semakin tinggi kesadaran dalam diri masyarakat, akhirnya bisa menjadi kebiasaan ( budaya ) yang kokoh dan tidak mudah luntur dalam masyarakat secara merata dan menyeluruh.

Positif Thinking

Positif thinking
Positif thinking cukup akurat dalam rangka menjaga semangat tetap stabil dalam kapasitis / kondisi maksimal. Konon positif thingking dapat menjaga semangat kerja yang kendor akibat menghadapi kegagalan - kegagalan dalam dunia kerja. Juga menghadapi hambatan yang ada dalam dunia pendidikan / sekolah, seperti menjelang test atau ujian.