Selasa, 06 Desember 2011

Acara Nikah Adat Batak Toba


Kami menari ( manortor ) menyambut Tulang ( Raja Purba ) yang akan mengulosi / memberikan kata2 nasehat kepada pengantin ( Ara Situmorang & Melda Sitindaon )

Selasa, 08 November 2011

Sertifikat pernikahan Gereja Katolik


Sertifikat pernikahan yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik, Indonesia.

Selasa, 25 Oktober 2011

My weding Party 22 Oct 2011 ( Ara Situmorang n Melda Sitindaon )

Senin, 03 Oktober 2011

Wedding party......22 Oct 2011


Wedding party tgl 22 Oct 2011 di Gedung Graha Girsang, Pekayon Bekasi.
Pemberkatan nikah : di Gereja St. Mikael Kranji, Bekasi

Kamis, 04 Agustus 2011

Pusjianbang Kementerian Hukum dan HAM RI

Pentingnya Peranan Penelitian Terkait Tupoksi Pusjianbang Sebagai Unsur Penunjang Pelaksana Kinerja Kementerian Hukum dan HAM RI

Oleh : Victorio H. Situmorang, SH*

* Pendahuluan

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pasal 1 angka 4 tertulis, ‘Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidak benaran suatu asumsi dan / atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian juga bisa jadi adalah : kegiatan yang menggunakan metode ilmiah untuk mengungkapkan ilmu pengetahuan atau menerapkan teknologi, juga untuk memperoleh jawaban atau penjelasan mengenai suatu fenomena yang diamati ( Budiarjo, S.Sos.,MA, Teknik Penyusunan TOR dan Proposal Pengkajian 2009 ). [1] Pada pasal 1 angka 12 tertulis, ‘Lembaga penelitian dan pengembangan yang selanjutnya disebut lembaga litbang adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan / atau pengembangan.

Dalam Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 02 / E / 2005 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti angka 1.3.1. disebutkan, ‘Peneliti adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan penelitian dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada satuan organisasi penelitian dan pengembangan ( litbang ) instansi pemerintah’.

Salah satu wujud / bukti hasil dari kegiatan penelitian dapat kita lihat dalam wacana berikut ini :

Kementerian Pertahanan meluncurkan roket pertahanan 122 berhulu ledak, karya anak bangsa. Peluncuran yang dilakukan di Pusat Latihan Tempur TNI Angkatan Darat di Baturaja, Sumatera Selatan itu menandai dimulainya produksi minimal 500 roket itu hingga tahun 2014. ‘Peluncuran ini adalah akhir dari tahap uji coba. Selanjutnya kita akan memproduksi minimal 500 roket pada 2014. Ini menjadi titik awal kebangkitan dari usaha membangun kemandirian industri pertahanan dalam negeri,’ kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro saat meresmikan peluncuran roket itu. Roket pertahanan ( R-Han ) 122 merupakan roket berkaliber 122 mm, hasil kolaborasi Badan Penelitian dan Pengembangan ( Balitbang ) Kementerian Pertahanan, Kementerian Riset dan Teknologi, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, PT Dirgantara Indonesia, serta PT Pindad.
Dilihat dari hal di atas tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan tupoksi berikur fungsi kerja yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan ( Pusjianbang ) Kementerian Hukum dan HAM RI, sebagai salah satu institusi yang bergerak dalam bidang penelitian / pengkajian dan pengembangan. Untuk diketahui bersama bahwa keberadaan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia [Pusjianbang Kemenkumham] ini sudah cukup lama yaitu sejak tahun 1989 yang waktu itu masih bernomenklatur Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman [Puslitbang Depkeh], dan baik secara langsung maupun tidak pasti memiliki alasan / tujuan dengan keberadaannya tersebut.
Pusjianbang mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan pengembangan kebijakan di bidang hak kekayaan intelektual, keimigrasian, pemasyarakatan, pelayanan hukum dan jasa hukum lainnya serta administrasi fasilitatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku, yang pada akhirnya hasil pengkajian dan pengembangan tersebut dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi Pimpinan Kementerian Hukum dan HAM RI. Pusjianbang diadakan dengan maksud untuk membuat Menteri Hukum dan HAM selalu mengetahui dan menguasai permasalahan ketidak sesuaian antara hasil akhir suatu pelaksanaan tugas yang sudah ditentukan oleh Menteri Hukum dan HAM untuk tugas yang bersangkutan, sehingga dapat diambil tindakan-tindakan penyesuaian yang lebih tepat pada kebijaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan-pelaksanaan baru yang akan datang.
Adapun produk daripada Pusjianbang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya adalah berupa laporan hasil penelitian, jika dikaitkan dengan produk Balitbang Kemhan yang berupa ’roket’. Yang mana sebelum disampaikan kepada pimpinan Pusat terlebih dahulu diadakan Pengkajian terhadap laporan hasil penelitian itu dan setelah Pengkajian barulah laporan hasil penelitian dan hasil Pengkajiannya dikirimkan kepada Pimpinan sebagai bahan / data informasi yang akurat dalam meningkatkan dan menyempurnakan apa yang berkaitan dengan obyek penelitian tersebut.
Dikatakan dalam sebuah pernyataan, ’Pada sisi lain secara empiris terdapat korelasi yang positif antara kemajuan suatu negara dengan peran penelitian dengan segala aparatnya. Lebih dari itu hubungannya pun bersifat ”kautatif resiprokal”, semakin tinggi peran lembaga penelitian dan / atau peneliti terbukti semakin maju negara yang bersangkutan, sebaliknya semakin maju suatu negara maka peran lembaga penelitian dan / atau peneliti semakin diperlukan ( Dr. Supriyoko, M.PD ; Pentingnya Penelitian Untuk Merealisasi Research University )’. Indonesia yang sedang giat – giatnya membangun dan berupaya menyetarakan kedudukannya dengan negara negara industri dan negara negara pasca industri lainnya, sudah barang tentu semakin menuntut berperannya lembaga lembaga penelitian dan / atau para peneliti.

analisa penegakan ham bagi narapidana



Bicara tentang narapidana dan lapas, bahwa narapidana sama seperti warga Negara yang lain tetap harus dijamin pemenuhan ham-nya. Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia huruf b pada bagian menimbang menyatakan, ‘bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Lalu pada huruf d masih pada bagian menimbang dikatakan, ‘bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa, serta sebagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.

Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 juga menyebutkan bahwa, ’Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab’.

Rumor yang beredar, bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang dituding kurang memperhatikan HAM bagi narapidana. Indikator yang bisa dikedepankan seperti juga yang telah disebutkan di atas adalah fasilitas Lapas dan Rutan yang kurang memadai yang akhirnya menimbulkan over kapasitas. Hal ini memiliki efek yang luar biasa bagi para narapidana. Antara lain misalnya, penularan penyakit. Pada tahun 2006 hampir 10% napi meninggal di dalam Lapas. Sebagian besar napi tersebut meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara / lapas, dan ketika di dalam penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara.

Dari uraian di atas menjadi penting untuk mengangkat beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Apakah penerapan penegakan hak asasi manusia terhadap narapidana sudah dilaksanakan dengan semestinya ?

2. Sejauh mana perhatian pemerintah terhadap penegakan hak asasi manusia bagi narapidana ?

Penyimpangan yang terjadi di LP merupakan kasus yang sudah diketahui umum. Praktik pelanggaran HAM yang terjadi di LP mendukung pendapat bahwa seorang narapidana kehilangan hak – hak asasinya ketika ia masuk ke LP. Tidak satupun ketentuan undang – undang yang membenarkan hal tersebut. Seorang narapidana tetap memiliki hak – hak dasarnya tidak perduli di dalam LP sekalipun. Hak – hak narapidana dapat dibatasi tetapi tidak dapat dihilangkan. Hak – hak tersebut dapat dibatasi hanya apabila pembatasan tersebut diperlukan untuk mencegah kejahatan atau untuk keamana LP tersebut. Januari 2010, kapasitas seluruh lembaga pamasyarakatan dan rumah tahanan sejumlah 90.853, namun saat ini diisi 132.372 orang sehingga terjadi over kapasitas sebanyak 41.789 orang. Bahkan di kota – kota besar seperti DKI Jakarta, over kapasitas lapas dan rutan mencapai 300 persen. Terkait dengan over kapasitas tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengalami kekurangan petugas pengamanan di lapas atau rutan. Tahun 2009 jumlah petugas pengamanan lapas / rutan yaitu 10.251 orang yang bertugas menjaga 132.327 narapidana / tahanan. Sesuai data yang ada saat ini, unit pelaksana teknis ( UPT ) Pemasyarakatan berjumlah 564 UPT yang terdiri dari 232 Lapas, 201 Rutan, 70 Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan 61 Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (Rupbasan). Dalam mendorong pelaksanaan sistem peradilan khususnya dalam penanganan penghuni yang memiliki potensi beresiko tinggi diperlukan pendekatan khusus sesuai kebutuhan. Penghuni Lapas/Rutan yang beresiko tinggi adalah penghuni yang karena ideologinya, keyakinannya, keadaan jiwanya, perilakunya, atau jenis penyakitnya mempunyai kecenderungan melakukan perbuatan atau karena penyakitnya dapat membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat. Selain itu juga pada saat ini tingkat hunian masih cukup tinggi (over kapasitas) dalam Lapas/Rutan

Dalam sebuah wawancara dikatakan bahwa tidak ada hak narapidana yang telah terpenuhi secara maksimal. Misalnya dalam hal hak menjalankan ibadah, ada ruang ibadah tetapi tidak ada uztads atau pendeta. Ada klinik kesehatan, tetapi tidak ada dokter atau perawat. Ada ruang pendidikan, tetapi tidak ada guru yang mengajar. Padahal walaupun seseorang sudah dirampas kemerdakaannya dan berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan), tetap wajib dipenuhi hak- hak asasinya. Bagi narapidana dewasa, harus ada program pendidikan Paket A atau B dan bagi anak-anak harus ada pendidikan paket khusus’. Dikatakan juga bahwa, ’Di bidang kesehatan lebih parah lagi. Di Sumatera Utara terdapat 17.000 napi dan tahanan, namun tidak semua Lapas dan atau Rutan memiliki tenaga medis. Tenaga medis hanya tersedia pada Lapas dan Rutan Kelas I, Lapas Kelas II, dan Lapas di kota – kota besar. Di luar itu tenaga medis tidak ada sama sekali. Di Padang Sidempuan dan Panyabungan (Sumut) serta daerah–daerah lain sama sekali tidak ada pelayanan kesehatan. Menurut data, 90% Lapas tidak memiliki tenaga kesehatan. Demikian juga, tempat/ruang tahanan sangat terbatas dan sangat tidak memenuhi syarat untuk hidup layak. Satu kamar yang seharusnya diisi 10 orang, dalam kenyataannya harus diisi 40 hingga 50 orang.

Penutup

  1. Penerapan pembinaan narapidana sesuai dengan perspektif hak asasi manusia belum terlaksana dengan baik. Dari segi literatur peraturan yang mengatur tentang pembinaan narapidana sesuai dengan falsafah dasar bangsa Indonesia yaitu Pancasila, sudah cukup sesuai dan maksimal. Peraturan tentang Hak Asasi Manusia juga masih dirasakan cukup relevan dengan keadaan / kondisi masyarakat saat ini, tidak terlepas juga para narapidana yang merupakan bagian dari masyarakat bangsa Indonesia. Namun yang dirasakan masih kurang adalah pelaksanaannya di lapangan. Dengan kendala yang disebutkan di atas mungkin bisa dilaksanakan dengan tepat pola rekruitmen pegawai baru, terutama bagi yang nantinya diperuntukkan / ditempatkan di UPT Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Perlu juga diperhatikan pola mutasi pegawai, yang sebaiknya bersifat teratur / terjadwal dan merata. Dirasa perlu juga adanya anggaran yang diperuntukkan guna pembangunan UPT yang sudah tidak maksimal lagi dalam menampung jumlah penghuni UPT berikut sarana dan prasarana di dalamnya, sehingga dalam pelaksanaan prosedur yang ada tidak manjadi timpang / tidak seimbang antara keberadaan sumber daya manusia dengan sarana prasarana. Pengawasan berkala oleh pimpinan juga dirasakan perlu, sebagai pengaruh motivasi psikologi secara tidak langsung terhadap para petugas, sehingga timbul rasa diperhatikan walau berada di UPT daerah yang terpencil sekalipun.
  2. Perhatian pemerintah terhadap pembinaan narapidana yang berwawasan hak asasi manusia dirasakan masih kurang maksimal. Masih seputar pemberian pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas ( CMB ). Dalam hal penambahan kapasitas lapas atau rutan, pelaksanaannya belum maksimal dan tidak merata, kalau boleh disebut tidak sebanding dengan pertambahan jumlah narapidana. Oleh karenanya usaha tersebut terlihat tidak manjadi suatu solusi pemecahan permasalahan. Mungkin akan lebih baik jika pelaksanaan penambahan kapasitas didahului dengan evaluasi / survei berkala untuk mengetahui dan membuat skala prioritas terkait lapas / rutan mana yang benar – benar membutuhkan penambahan kapasitas sehingga pelaksanaannya bisa lebih didahulukan terhadap lapas / rutan tersebut.

UPT Imigrasi

Unit Pelaksana Teknis ( UPT ) Imigrasi

1. Kantor Imigrasi Klas I Khusus :

- Kanim Klas I Khusus Surabaya - Kanim Klas I Khusus Soekarno-Hatta

- Kanim Klas I Khusus Ngurah Rai

- Kanim Klas I Khusus Medan - Kanim Klas I Khusus Jakarta Selatan

- Kanim Klas I Khusus Jakarta Barat- Kanim Klas I Khusus Batam

2. Kantor Imigrasi Klas I :

- Balikpapan - Bandung - Denpasar - Makasar

- Samarinda - Banda Aceh - Bandar Lampung - Banjarmasin

- Bengkulu - Jakarta Utara - Jambi - Kendari

- Mataram - Palangkaraya - Palu - Pangkal pinang

- Polonia - Serang - Surakarta - Tangerang

- Ternate - Yogyakarta - Tanjung Priok - Tanjung Pinang

- Tanjung Perak - Semarang - Pontianak - Pekanbaru

- Palembang - Padang - Menado - Kupang

- Jayapura - Jakarta Timur - Jakarta Pusat - Ambon

3. Kantor Imigrasi Kelas II :

- Tobelo - Polewali - Mamuju - Atambua - Biak - Bukit Tinggi

- Dumai - Maumere - Muaraenim - Sambas - Selat Panjang - Siak

- Tahuna - Tanjung Balai Asahan - Tual - Manokwari - Tanjung Pandan

- Depok - Belakang Padang - Bitung - Entikong - Kota baru

- Kuala Tungkal - Langsa - Meulaboh - Pare-pare - Ranai - Sampit

- Tembagapura - Bagan Siapiapi - Belawan - Bengkalis - Blitar

- Bogor - Cilacap - Cirebon - Jember - Karawang - Lhoksumauwe

- Madiun - Cilegon - Merauke - Nunukan - Pati - Pemalang

- Pematang Siantar - Sanggau - Sibolga - Singaraja - Singkawang - Sorong

- Sukabumi - Sumbawa Besar - Tanjung Balai Karimun - Tanjung Uban - Tarakan -Tasikmalaya - Tembilahan - Wonosobo

4. Rudenim :

- Tanjung Pinang - Surabaya - Semarang - Pontianak - Pekanbaru

- Medan - Manado - Makasar - Kupang - Jayapura - Jakarta

- Denpasar - Balikpapan - Batam

5. Tempat pemeriksaan imigrasi ( TPI ) :

- TPI Tenau ( Kupang ) - TPI Eltari ( Kupang ) - TPI Maumere ( NTT ) - TPI Teluk Bayur ( Padang )

- TPI Tanjung Uban ( Kep. Riau ) - TPI Tanjung Pinang ( Kep. Riau )

- TPI Tanjung Balai Karimun ( Kep. Riau ) - TPI Bintan Lagoi ( Kep. Riau ) - TPI Sekupang ( Batam )

- TPI Nongsa ( Batam ) - TPI Marina ( Batam ) - TPI Harbour Bay ( Batam )

- TPI Batam Center ( Batam ) - TPI Hang Nadiem ( Batam ) - TPI Tanjung Priok ( DKI )

- TPI Halim perdanakusuma ( DKI ) - TPI Soekarno-Hatta ( DKI ) - TPI Tanjung Mas ( Semarang )

- TPI Ahmad Yani ( Semarang ) - TPI Sultan Syarif Kasim II ( Pekan baru ) - TPI Dumai ( Pekanbaru )

- TPI SoekarnoHatta ( Makasar ) - TPI Hasanudin ( Makasar ) - TPI Pare-pare

- TPI Sam Ratulangi ( Manado ) - TPI Sibolga ( Sumut ) - TPI Belawan ( Sumut )

- TPI Bitung ( Sulut ) - TPI Polonia ( Medan ) - TPI Minangkabau ( Padang )

- TPI Sepinggan ( Balikpapan ) - TPI Selaparang ( Mataram ) - TPI Padang Bai ( Bali )

- TPI Ngurah Rai ( Bali ) - TPI Benoa ( Bali ) - TPI Juanda ( Surabaya ) - TPI Jayapura ( Papua )

- TPI Husein Sastranegara ( Jawa barat ) - TPI Adi Sumarno ( Surakarta )

- TPI Adi Sucipto ( Yogyakarta )

6. Atase Imigrasi :

- Den Haag - Los Angeles - Guang Zhou - Saudi Arabia - Hongkong

- Kuala Lumpur - Germany - Beijing - Thailand - Jepang - Australia

- Philipina - Penang - Tawau - Kuching - Timor Timor - Taiwan

- Johor Baru


Selasa, 31 Mei 2011

Analisa Sifat Delik Yang Melekat Dalam UU Hak Cipta



Analisa Sifat Delik Yang Melekat Dalam UU Hak Cipta
Keterkaitan dengan rencana pemerintah melakukan perubahan sifat delik kasus Hak cipta dari delik biasa menjadi delik aduan dalam amandemen UU No.19 tahun 2002 justru akan semakin mempersulit dalam hal penyelesaian kasus terkait hak cipta. Menurut Kanit I Indag Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, pihaknya terkejut dengan rencana perubahan sifat delik tersebut. Dengan adanya delik tersebut menurut beliau justru akan meningkatkan jumlah pembajakan di Indonesia. Jika selama ini pihak aparat terkait bisa langsung terjun ke lapangan untuk menindak para pelaku pembajakan, maka jika sifat delik yang diterapkan terhadap kasus hak cipta adalah delik aduan maka akan menghambat proses penindakan aparatur terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran terkait hak cipta.
Permasalahan : "Apakah dengan mengubah sifat delik kasus Hak cipta dalam Amandemen UU No 19 Tahun 2002, merupakan solusi yang tepat dalam rangka penanggulangan kasus pelanggaran hak cipta ?
Dari hasil pengamatan penulis, sepanjang 2009 sekitar 51 kasus pembajakan berhasil diungkap, 41 di antaranya telah diajukan ke persidangan, padahal saat itu delik kasus dalam bidang hak cipta masih menerapkan delik biasa. Menurut hemat penulis, penanganan kasus hak cipta akan semakin tidak efektif jika diterapkan perubahan sifat delik kasus dari delik biasa menjadi delik aduan, dikarenakan harus menunggu adanya aduan dari masyarakat / pihak yang merasa dirugikan. Dengan menjadi delik aduan, juga akan berakibat aparat penyidik Kepolisian tidak bisa melakukan tindakan hukum meski terjadi pelanggaran kasus Hak cipta di depan mata polisi. Menurut pengamatan penulis, pihak yang merasa dirugikan akibat dari kegiatan pembajakan tersebut biasanya enggan dan membiarkan saja ( merelakan ) kegiatan pembajakan tersebut terus berlanjut. Salah satu contoh misalnya, dari kalangan pencipta/musisi vokalis band Letto, bernama Sabrang ( Neo ) berujar bahwa saat ini musisi tidak punya pilihan lain selain mewakafkan karyanya. "Banyak karya Letto yang dibajak, kami sih ketawa2 aja melihatnya. Soal ikhlas itu relatif, tapi dari banyak kasus jadi terlihat mental orang Indonesia itu seperti apa. Posisi kreator sangat lemah sehingga karyanya sangat mudah dibajak oleh orang lain. Sementara itu Kepala Perwakilan Bisnis Software Alliance BSA Indonesia berpendapat, bahwa perubahan delik ini akan berdampak pada penurunan jumlah upaya penegakan hukum di bidang HKI. Pasalnya diperlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan untuk dilakuakan upaya penegakan hukum oleh aparat terkait. Padahal tidak semua pemegang hak cipta berkedudukan atau memiliki perwakialan di Indonesia, sehingga mempersulit proses pengaduan sebagaimana dipersyaratkan. Beberapa pihak berpendapat lebih setuju jika diterapkan delik aduan dikarenakan beberapa hal / alasan sebagai berikut :
  1. 1. aparat penegak hukum kurang mampu menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya.
  2. dalam melakukan proses hukum aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan.
  3. dalam prakteknya apabila terjadi pelanggaran hak cipta pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelaku pelanggar hak cipta tersebut dikenakkan sanksi pidana penjara atau denda. Namun karena tindak pidana hak cipta menerapkan delik biasa seringkali aparat penegak hukum yang menangani kasus hak cipta tersebut terus melanjutkan proses hukum meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar dengan pihak yang melanggar. Hal ini tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut.
Sedangkan menurut penulis alasan / hal di atas tidak tepat. Beberapa alasan sanggahan terkait alasan / hal di atas yaitu sebagai berikut :
  1. sangat tidak masuk akal jika aparat terkait dengan bidang hak cipta tidak bisa menentukan paling tidak menduga telah terjadi pelanggaran hak cipta. Jika dikaitkan dengan yang tertulis dalam pasal 1 UU No. 19 Tahun 2002 yaitu, "Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu tidak mengurangi pembatasa -pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku", timbul pertanyaan siapa yang menjamin isi dari pasal ini benar-benar terealisasi di lapangan. Sudah pasti aparat terkaitlah yang menetapkan suatu kebijakan atas dasar pasal ( peraturan perundang - undangan ) di atas untuk mencapai tingkatan penegakan supremasi hukum yang adil dan seimbang, yang nantinya akan menjadi indikator jalannya sistem pemerintahan yang baik dan ideal ( good goverment ). Dalam hal inilah diperlukan adanya SDM yang kompeten di bidangnya, seiring juga dengan sistem pengembangan SDM dan sistem reward bagi aparat / petugas yang berprestasi.
  2. Tidak berbeda jauh dengan sanggahan di atas, bahwa permasalahan yang dihadapi adalah ketidakmampuan SDM terkait pelaksanaan tugasnya. Dengan diterapkannya delik aduan terhadap kasus bidang hak cipta sama saja dengan mengurangi / menghilangkan tugas yang merupakan kewajiban dari aparat / petugas terkait tersebut.
  3. Menimbulkan suatu pertanyaan lagi, "Siapakah yang lebih mengerti dan memahami apa yang diperlukan guna penegakkan hukum, aparat penegak hukum kah ( pemerintah ) atau masyarakat ? Masyarakat telah memilih siapa yang mereka percaya guna menjalankan roda pemerintahan bangsa ini. Para pihak baik yang dirugikan maupun yang melakukan pelanggaran mungkin merasa cukup puas dengan menempuh jalur damai, tapi tidak akan menyelesaikan masalah secara global / menyeluruh. Hanya akan menyelesaikan masalah mereka berdua. Biarkan aparat / petugas hukum yang lebih mengerti menjalankan yang memang merupakan tugasnya. Masyarakat hanya perlu berharap bahwa petugas tersebut tidak lalai / malas dan jujur dalam menjalankan tugasnya.
Jika penulis boleh memberikan suatu gambaran atau perumpamaan dalam bidang medis terkait dengan delik aduan yang rencananya akan diterapkan dalam UU Hak cipta, sangat tidak logis jika ternyata seorang yang berprofesi sebagai dokter tidak mengerti prosedur bagaimana cara menangani penyakit pasien. Bahkan sekalipun prosedur proses medis yang tergolong berat/rumit seperti misalnya operasi kandungan, tetap harus dokterlah yang mengerti dan menangani / bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Kalaupun ada suatu permasalahan medis yang belum ditenukan solusi penanggulangannya tetap saja hal tersebut menjadi tanggung jawab dokter / unit terkait dalam bidang medis.
Kesimpulan : mengambil langkah solusi dengan mengubah sifat delik dari UU No 19 Tahun 2002 tentang hak cipta dari delik biasa menjadi delik aduan merupakan solusi yang kurang tepat. Permasalahan / kasus hak cipta ini merupakan rangkaian yang terdiri dari tiga unsur yaitu, unsur penegak hukum - unsur produsen/distribusi ( pembuat/pedagang barang bajakan ) - dan unsur konsumen ( masyarakat/pembeli ). Unsur penegak hukumlah yang merupakan ujung tombak dari pelaksanaan penegak hukum di negara ini. Jika memang harus diserahkan kepada masyarakat, maka pelaksanaan penegakkan hukum yang dipahami oleh masyarakat adalah model penegakan hukum brutal / anarkis. Dengan menerapkan sifat delik aduan terkait UU hak cipta, sama saja dengan menyerahkan kepada masyarakat untuk menentukan dan mengambil keputusan dalam menimbang dan memutuskan untuk melakukan tindakan agar hak mereka seimbang, penuh, tidak digunakan semena-mena oleh orang lain, tidak merugikan masyarakat / orang yang merasakannya. Tingkatan pendidikan dan kemampuan ekonomi memberi pengaruh terkait perilaku anarkis masyarakat di atas. Pilihan lain dari masyarakat yang merasa dirugikan adalah menuntut ganti rugi kepada pihak yang merugikan/pelanggar tindak pidana hak cipta, yang akhirnya tidak memberikan efek jera / takut bagi pelaku pelanggar tindak pidana hak cipta beserta sindikat-sindikat lainnya yang mungkin belum terungkap. Secara global ( nasional ) tingkat penegakkan supremasi hukum masih jauh dari kata ideal atau sesuai dengan masyarakat, yang akhirnya membuat masyarakat enggan berurusan berlama-lama dengan proses hukum. Mungkin lebih baik jika sifat delik UU hak cipta tetap menggunakan delik biasa. Lalu ditindaklanjuti dengan peningkatan kemampuan SDM aparat terkait penegakan hukum bidang hak cipta. Persamaan persepsi / pemahaman tentang HKI diantara aparatur terkait perlu dilakukan, agar penanggulangan pelanggaran tindak pidana hak cipta memiliki prosedur / kepastian hukum ( pemberian sanksi ) yang sama. Sosialisasi kepada masyarakat segala lapisan tanpa melihat tingkatan ekonomi, perbedaan profesi, dan berbagai aspek pembeda lainnya mutlak harus sering dilakukan, guna menciptakan kesadaran dalam masyarakat untuk tidak menggunakan barang - barang bajakan, dengan harapan semakin tinggi kesadaran dalam diri masyarakat, akhirnya bisa menjadi kebiasaan ( budaya ) yang kokoh dan tidak mudah luntur dalam masyarakat secara merata dan menyeluruh.

Positif Thinking

Positif thinking
Positif thinking cukup akurat dalam rangka menjaga semangat tetap stabil dalam kapasitis / kondisi maksimal. Konon positif thingking dapat menjaga semangat kerja yang kendor akibat menghadapi kegagalan - kegagalan dalam dunia kerja. Juga menghadapi hambatan yang ada dalam dunia pendidikan / sekolah, seperti menjelang test atau ujian.