Kamis, 04 Agustus 2011

analisa penegakan ham bagi narapidana



Bicara tentang narapidana dan lapas, bahwa narapidana sama seperti warga Negara yang lain tetap harus dijamin pemenuhan ham-nya. Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia huruf b pada bagian menimbang menyatakan, ‘bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Lalu pada huruf d masih pada bagian menimbang dikatakan, ‘bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa, serta sebagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.

Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 juga menyebutkan bahwa, ’Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab’.

Rumor yang beredar, bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang dituding kurang memperhatikan HAM bagi narapidana. Indikator yang bisa dikedepankan seperti juga yang telah disebutkan di atas adalah fasilitas Lapas dan Rutan yang kurang memadai yang akhirnya menimbulkan over kapasitas. Hal ini memiliki efek yang luar biasa bagi para narapidana. Antara lain misalnya, penularan penyakit. Pada tahun 2006 hampir 10% napi meninggal di dalam Lapas. Sebagian besar napi tersebut meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara / lapas, dan ketika di dalam penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara.

Dari uraian di atas menjadi penting untuk mengangkat beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Apakah penerapan penegakan hak asasi manusia terhadap narapidana sudah dilaksanakan dengan semestinya ?

2. Sejauh mana perhatian pemerintah terhadap penegakan hak asasi manusia bagi narapidana ?

Penyimpangan yang terjadi di LP merupakan kasus yang sudah diketahui umum. Praktik pelanggaran HAM yang terjadi di LP mendukung pendapat bahwa seorang narapidana kehilangan hak – hak asasinya ketika ia masuk ke LP. Tidak satupun ketentuan undang – undang yang membenarkan hal tersebut. Seorang narapidana tetap memiliki hak – hak dasarnya tidak perduli di dalam LP sekalipun. Hak – hak narapidana dapat dibatasi tetapi tidak dapat dihilangkan. Hak – hak tersebut dapat dibatasi hanya apabila pembatasan tersebut diperlukan untuk mencegah kejahatan atau untuk keamana LP tersebut. Januari 2010, kapasitas seluruh lembaga pamasyarakatan dan rumah tahanan sejumlah 90.853, namun saat ini diisi 132.372 orang sehingga terjadi over kapasitas sebanyak 41.789 orang. Bahkan di kota – kota besar seperti DKI Jakarta, over kapasitas lapas dan rutan mencapai 300 persen. Terkait dengan over kapasitas tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengalami kekurangan petugas pengamanan di lapas atau rutan. Tahun 2009 jumlah petugas pengamanan lapas / rutan yaitu 10.251 orang yang bertugas menjaga 132.327 narapidana / tahanan. Sesuai data yang ada saat ini, unit pelaksana teknis ( UPT ) Pemasyarakatan berjumlah 564 UPT yang terdiri dari 232 Lapas, 201 Rutan, 70 Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan 61 Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (Rupbasan). Dalam mendorong pelaksanaan sistem peradilan khususnya dalam penanganan penghuni yang memiliki potensi beresiko tinggi diperlukan pendekatan khusus sesuai kebutuhan. Penghuni Lapas/Rutan yang beresiko tinggi adalah penghuni yang karena ideologinya, keyakinannya, keadaan jiwanya, perilakunya, atau jenis penyakitnya mempunyai kecenderungan melakukan perbuatan atau karena penyakitnya dapat membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat. Selain itu juga pada saat ini tingkat hunian masih cukup tinggi (over kapasitas) dalam Lapas/Rutan

Dalam sebuah wawancara dikatakan bahwa tidak ada hak narapidana yang telah terpenuhi secara maksimal. Misalnya dalam hal hak menjalankan ibadah, ada ruang ibadah tetapi tidak ada uztads atau pendeta. Ada klinik kesehatan, tetapi tidak ada dokter atau perawat. Ada ruang pendidikan, tetapi tidak ada guru yang mengajar. Padahal walaupun seseorang sudah dirampas kemerdakaannya dan berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan), tetap wajib dipenuhi hak- hak asasinya. Bagi narapidana dewasa, harus ada program pendidikan Paket A atau B dan bagi anak-anak harus ada pendidikan paket khusus’. Dikatakan juga bahwa, ’Di bidang kesehatan lebih parah lagi. Di Sumatera Utara terdapat 17.000 napi dan tahanan, namun tidak semua Lapas dan atau Rutan memiliki tenaga medis. Tenaga medis hanya tersedia pada Lapas dan Rutan Kelas I, Lapas Kelas II, dan Lapas di kota – kota besar. Di luar itu tenaga medis tidak ada sama sekali. Di Padang Sidempuan dan Panyabungan (Sumut) serta daerah–daerah lain sama sekali tidak ada pelayanan kesehatan. Menurut data, 90% Lapas tidak memiliki tenaga kesehatan. Demikian juga, tempat/ruang tahanan sangat terbatas dan sangat tidak memenuhi syarat untuk hidup layak. Satu kamar yang seharusnya diisi 10 orang, dalam kenyataannya harus diisi 40 hingga 50 orang.

Penutup

  1. Penerapan pembinaan narapidana sesuai dengan perspektif hak asasi manusia belum terlaksana dengan baik. Dari segi literatur peraturan yang mengatur tentang pembinaan narapidana sesuai dengan falsafah dasar bangsa Indonesia yaitu Pancasila, sudah cukup sesuai dan maksimal. Peraturan tentang Hak Asasi Manusia juga masih dirasakan cukup relevan dengan keadaan / kondisi masyarakat saat ini, tidak terlepas juga para narapidana yang merupakan bagian dari masyarakat bangsa Indonesia. Namun yang dirasakan masih kurang adalah pelaksanaannya di lapangan. Dengan kendala yang disebutkan di atas mungkin bisa dilaksanakan dengan tepat pola rekruitmen pegawai baru, terutama bagi yang nantinya diperuntukkan / ditempatkan di UPT Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Perlu juga diperhatikan pola mutasi pegawai, yang sebaiknya bersifat teratur / terjadwal dan merata. Dirasa perlu juga adanya anggaran yang diperuntukkan guna pembangunan UPT yang sudah tidak maksimal lagi dalam menampung jumlah penghuni UPT berikut sarana dan prasarana di dalamnya, sehingga dalam pelaksanaan prosedur yang ada tidak manjadi timpang / tidak seimbang antara keberadaan sumber daya manusia dengan sarana prasarana. Pengawasan berkala oleh pimpinan juga dirasakan perlu, sebagai pengaruh motivasi psikologi secara tidak langsung terhadap para petugas, sehingga timbul rasa diperhatikan walau berada di UPT daerah yang terpencil sekalipun.
  2. Perhatian pemerintah terhadap pembinaan narapidana yang berwawasan hak asasi manusia dirasakan masih kurang maksimal. Masih seputar pemberian pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas ( CMB ). Dalam hal penambahan kapasitas lapas atau rutan, pelaksanaannya belum maksimal dan tidak merata, kalau boleh disebut tidak sebanding dengan pertambahan jumlah narapidana. Oleh karenanya usaha tersebut terlihat tidak manjadi suatu solusi pemecahan permasalahan. Mungkin akan lebih baik jika pelaksanaan penambahan kapasitas didahului dengan evaluasi / survei berkala untuk mengetahui dan membuat skala prioritas terkait lapas / rutan mana yang benar – benar membutuhkan penambahan kapasitas sehingga pelaksanaannya bisa lebih didahulukan terhadap lapas / rutan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar